Terik matahari ditambah desakan penumpang untuk menaiki kapal ‘Setia Kawan” terasa di pelabuhan Kasipute Kecamatan Rumbia Kabupaten Bombana. Pelabuhan Kasipute merupakan pintu masuk menuju Pulau Kabaena. Ada beberapa kapal yang beroperasi melayani rute tersebut, di antaranya Era Mas, Setia kawan dan Kabaena Ekspres.
Untuk menuju Pulau Kabaena, kita dapat menggunakan kapal penumpang reguler yang beroperasi satu kali sehari. Jarak tempuhkurang lebih 5 jam dengan biaya Rp 80.000 perorangnya. Pulau dengan luas 876 Km2 tersebut di huni oleh kurang lebih 12.000 jiwa. Pulau Kabaenaterdiri atas 6 Kecamatan dan dari 6 Kecamatan tersebut, sebagian daerah pesisir Kabaena dihuni oleh komunitas Suku Bajo. Persebaran Suku Bajo di Pulau Kabaena antara lain Kecamatan Kabaena Barat (Desa Baliara Laut yang terdiri atas Dusun Bambanipa Laut dan Dusun Tanjung Malake, Desa Baliara Kapulauan dan Desa Sikele yang terdiri atas Dusun Tanjung Perak, Dusun Pulau Sagori dan Dusun Pulau Mataha). Sementara di Kecamatan Kabaena Selatan tersebar di Desa Batua dan Desa Pangkalero dan di Kecamatan Kabaena Utara terdiri dari Desa Mapila.
Dengan bentuk wilayahyang terdiri dari daratan, pegunungan dan laut, Pulau Kabaena mengandung berbagai macam kekayaan alam. Baik di laut maupun daratan. Di laut keanekaragaman terumbu karang menjadi faktor penentu banyaknya ketersediaan ikan. Sirkulasi air laut yang berhadapan dengan laut lepas menjadikan daerah tersebut menjadi penghasil rumput laut.Sementara di daratan kandungan hasil bumijuga tak kalah melimpah ruah. Pertambangan bermunculan karena daerah tersebut teridentifikasi mengandung tambang nikel, emas dan batu krom.
Orang Bajo merupakan suku yang terkenalsebagai penguasa laut. Pada suku ini laut menjadi bagian yang tak terpisahkan dalam kehidupannya. Sehingga laut di jadikan sebagai hidup dan kehidupan. Suku Bajo dahulu kala menjadikan perahusebagai kebutuhan utama. Di samping di jadikan sebagai tempat mencarihasil laut juga di jadikan sebagai tempat tinggal. Di perahu segala aktivitas di lakukan, mulai dari makan, tidur, sakit, bermain untuk anak-anak bahkan melahirkan pun kadang di perahu.
Perkembangan zaman membuat suku Bajo juga terikut oleh perubahan tersebut. Sekarang sudah banyak suku Bajo yang menyebar di sepanjang pantai dan membuat rumah permanen sebagai tempat tinggal. Namun ada juga yang masih tetap mempertahankan kehidupan di perahu tersebut. Inilah rekam jejak orang Bajo perahu yang masih tertinggal di Konawe Utara Sulawesi Tenggara.
Desa Mandiodo
Desa tersebut termasuk daerah daratan di Kecamatan Molawe. Pada tahun 1980 di desa ini oleh Departemen Sosial di jadikan sebagai tempat tinggal tetap bagi suku Bajo yang masih tinggal di perahu. Mandiodo merupakan desa yang masuk ke dalam wilayah adminstrasi Kecamatan Molawe Kabupaten Konawe Utara Sulawesi Tenggara. Letaknya di daratan Konawe Utara tepat di pesisir pantai. Semua suku Bajo yang masih tinggal di perahu di buatkan rumah.Namun program ini tidak berjalan tuntas karena sebagian besar ada yang kembali ke laut bersama keluarganya. Mereka berpindah pindah dari satu tempat ke tempat lain di mana mereka merasa nyaman untuk hidup. Perpindahannya dari Pulau Meoh, Toroh Gusoh, Lukko Siampiong,Marombo serta pulau dan teluk lain di sekitarnya yang mereka rasa aman.
Pulao Meoh
Pulau Meoh dapat di tempuh selama 1 jam perjalanan dariMandiodo dengan menggunakan perahu mesin katinting 5,5 PK. Di Pulau Meoh hanya ada 10 rumah panggung di atas air. Rumah yang menggunakan daun sagu (rumbia) sebagai atapnya dan juga di jadikan sebagai dinding. Tak ada lagi perahu yang menggunakan atap yang di jadikan sebagai tempat tinggal.
Toroh Gusoh
Setelah dari pulau Meoh kami tidak menemukan lagi perahu Soppe(Tempat tinggal suku Bajo Perahu)perjalanan di lanjutkan ke Toroh Gusoh. Jarak tempuh yang di gunakan hanyalah 20 menit, di tempat ini kondisi yang sama jugakami dapatkan. Perkampungan ini hanyalah gundukan pasir yang naik ke permukaandi tengah laut. Jadi rumah yang di buat berbentuk panggung, jumlahnya hanya sekitar 30 rumah. Orang Bajo yang dulu tinggal di perahu sekarang sudah membuat rumah apa adanya. Menurut Jusman, salah satu warga yang sudah menetap di rumah, dia sejak 10 tahun yang lalu sudah di buatkan tempat tinggal yang tetap. Ini di lakukan karena perahu mereka untuk tinggal sudah rusak. Dari informasi yang ia berikan bahwayang masih tinggal di perahu hanya ada satu (1) kepala keluarga yang sering datang ke Toroh Gusoh. Menurutnya sekarang kemungkinan ada Lukko Siampiong, perjalanan pun kami lanjutkan ke tempat yang di maksud.
Lukko Siampiong
Jarak tempuh dari Toroh Gusoh ke Lukko Siampiong sekitar 1 jam. Tempat ini berbentuk teluk yang tidak pernah kering dari air laut namun kedalamannya jika air surut sekitar 1 meter. Jadi otomatis rumah yang di buat adalah rumah panggung. Jumlah rumah yang ada hanya 10 rumah, dengan luas masing-masing rumah sekitar 5x7 meter yang di tempati oleh satu sampai dua kepala keluarga. Dengan jumlah jiwa antara 5-12 orang satu rumah. Rumah yang di jadikan tempat tinggal tidak mempunyai pembatas antara tempat tidur, tempat makan dan dapur. Informasi dari tempat ini bahwa keluarga Mba Kuke (orang Bajo yang masih tinggal di perahu dengan keluarganya) berangkat ke Marambo dua hari yang lalu. Perjalanan pun di lanjutkan Ke Marambo.
Marombo
Perjalanan dari Lukko Siampiong ke Marombo dapat di tempuh dengan lama 1 jam. Marombo merupakan sebuah desa yang bisa di katakana maju. Dari kejauhan sudah terlihat rumah yang menggunakan atap seng dan dinding papan. Di desa inilah kami ketemu dengan Mba Kuke. Mba Kuke merupakan orang Bajo yang masih setia tinggal di perahu. Di Marombo dia jadikan sebagai tempat mendarat jika ada keperluan mengambil air minum.
Tentang Mba Kuke.
Mba Kuke mempunyai 7 anak (Ruslan, Lala, Mbito, Inta, Ndue, dan Buyoh ), 2 anaknya sudah berkeluarga. Sehingga yang masih ikut di perahu sisa 5 orang di tambah dengan isterinya. Mba Kuke tidak tahu tentang berapa tahun umurnya bahkan umur
anaknya pun dia tidak tahu. Di dalam aktivitas di perahu di gunakan untuk menyulu (mencari ikan pada malam hari). Di saat menyulu dia membawa semua 4 anaknya dan isterinya pergi menyulu. Sementara 1 anaknya (Lala) juga membawa 1 perahu ikut dengan orang tuanya.
Setelah selesai menyulu pada malam hari, hasil tangkapan seperti teripang di masak/di olah di darat. Jadi aktivitas untuk memasak kadang di lakukan di darat karena jarak tempat menyulu dengan darat sudah dekat.
Mba Kuke juga sudah punya rumah di Toroh Gusoh,yanghanya di jadikan sebagai tempat istrahat sementara. Mba Kuke tinggal di perahu bersama keluarganya selama kurang lebih 15 hari dalam satu bulan. Ini di lakukan karena pada 15 hari tersebut merupakan waktu untuk menyulu. Sementara15 hari yang lain di gunakan untuk menangkap kepiting yang kebetulan daerah tangkapannya berada di sekitar
Toroh Gusoh. Mba Kuke pernah mencoba untuk tinggal di daratan Mandiodo hanya dia tidak bisa karena kehidupan tinggal di perahu sudah menjadi kebiasaan sejak dahulu kala. Mereka pernah di buatkan rumah di Mandiodo tapi dia kembali tinggal di laut. Ia sudah tinggal di perahu sejak masih anak-anak bersama orang tuanya. Di saat remaja dia sudah membawa perahu sendiri. Selamatinggal di perahu, Mba Kuke sudah 5 perahu yang ia tempati.
Di perahu Mba Kuke juga sudah punya mesin katinting, mesin tersebut baru saja dia beli 1 bulan yang lalu hanya mesin ini tidak sepenuhnya di gunakan karena dia masih menggunakan layar dengan bantuan angin.
Aktivitas yang di lakukan oleh Mba Kuke juga di ikuti oleh 3 perahu lainnya. Hanya ke 3perahu tersebut tidak lagi di jadikan tempat tinggal karena mereka sudah punya rumah yang sederhana, bukan seperti rumah yang di tempati Mba Kuke.